BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 03 Januari 2013

Bukan ini mauku


Tahun 2001...

“Gimana kalau liburan sekolah davina kita main ke ancol ma? “ tawar papa saat berduduk santai sembari meneguk segelas kopi hitamnya.
“Boleh, lagian di umur davina yang masih 10 tahun ini dia pasti suntuk dan obat suntuk buat anak kecil itu cuma main pa...” ujar mama sembari tersenyum tipis
“HOREEEEE kita ke ancooool” jawabku dengan senyum kegirangan melonjak lonjak di atas karpet ruang tamu.
“siap siap sana sayang, .. ma bantuin davina menyiapkan segala kebutuhannya ya” ujar papa kepadaku dilanjutkan kepada mama.
“pastilah pa” jawab mama.
Ya, anak kecil.... belum ada beban, pikiran masih sempit, belum bisa berpikir kedepannya, belum ada masalah yang muncul dan kerjaannya hanya bermain, bermain dan terus bermain.

Tahun 2004...
Disaat umurku yang telah menginjak 13 tahun, problem seketika bermunculan. Biasanya problem anak SMP yang duduk di bangku kelas 2 paling kalau tidak soal pertemanan, persaingan ya mungkin percintaan.
Aku di cap anak pintar di SMP, sehingga banyak teman ku yang merasa tersaingi olehku padahal kenyataannya aku tidak pernah menganggap atau bahkan menjadikan mereka sebuah rival di dalam persaingan prestasi sekolah, tidak pernah, bahkan aku tidak akan pernah melakukan hal itu.
Guru guru di sekolah selalu memperlakukan aku berbeda dengan murid lainnya padahal di hadapan murid lainnya, guru-guru selalu bilang begini “kalian sama pintarnya dengan davina argantara, ibu atau bapak guru tidak akan berlaku beda dengan kalian maupun dengan davina”. Tapi dalam realita, omongan bapak ibu guru itu hanya fiktif belaka, layaknya seorang penulis yang berjanji memberikan dongeng terbagus untuk anak kecil tetapi tak mampu mewujudkannya dengan sempurna.
Ya, benar sekali. Di sekolah aku diberlakukan seperti anak emas, benar kata teman sekelasku,
“Lihat tuh davina, gue tau, dia mungkin pintar ngga kaya gue yang bego tapi disini gue, kalian bahkan davina sama sama belajar, kasta kita dengan davina sama tetapi kenapa guru guru menganggap davina seperti anak emas? Atau mungkin anak berlian? Toh di sekolah ini kita sama davina sama sama belajar dan sama sama bayar kan, ini namanya ngga adil”
Aku selalu berusaha menempatkan posisiku di tempat yang aman. Tapi kenapa aku selalu salah di mata mereka ? Jadi bodoh, mungkin hal yang bisa membuat teman temanku senang, tapi hal yang daridulu ku percayai adalah, Tuhan tidak pernah menciptakan manusia sebagai makhluk yang terlahir bodoh. Bodoh itu karena malas, karena tak ada usaha dalam diri.
Apa aku jadi malas saja ? mungkin teman teman akan banyak yang mengajak ku main, karena biasanya bangku SMP kelas 2 itu adalah masa masa dimana anak SMP mulai memberontak dan malas-malasan terhadap pelajaran, tapi resikonya mungkin nilai ku akan jelek, tugasku akan terbengkalai dan guru guru akan membenciku.
Apa aku harus tetap menjadi pintar ? dimana teman teman membenciku dan tak satupun mau mendekat padaku, tetapi  justru guru guru menyayangiku ?
Tuhan menempatkan aku di zona ketidaknyamanan. Bukan ini jalan cerita hidup yang aku inginkan.
Aku termenung memandangi langit-langit kamar.
Aku teringat oleh fanya. Fanya adalah sahabat kecilku, temen sebelah rumahku saat aku belum menempati rumah baru yang kutinggali sejak aku kelas 1 SMP. Dulu aku dan fanya satu sekolah saat TK,SD. Tetapi SMP kami berpisah. Dulu aku tinggal di Bandung, tetapi sekarang aku tinggal di Ibu Kota Negaraku, Jakarta.
Saat SD aku belum memiliki handphone, begitu juga fanya. Jadi bagaimana aku bisa mengetahui nomor handphone nya saat ini jika saat itu saja kami tak pernah sesekali membicarakan tentang nomor handphone. Akhirnya, aku dan fanya lost contact sudah 2 tahun, aku membutuhkannya, tidak untuk sekarang saja, mungkin juga sampai saat rambut kami sudah berubah warna menjadi putih atau mungkin sampai saat kami melihat cucu cucu kami berada di pelaminan. Ah, terlalu panjang pikiranku.
Aku berusaha menceritakan kepada papa dan mama. Akhirnya mereka mengerti, dengan sangat berhati-hati mereka mencoba merangkulku dengan lembut, menempatkan aku berada di tengah tengah kehangatan obrolan mereka. Mereka memberikan sebuah solusi yang tidak terlalu berat untuk ku lakukan. Mama dan papa, mereka pahlawanku.
“lakukan apa adanya saja nak, cukup diam bila kamu tidak merasa memiliki salah, bantu mereka di saat mereka kesusahan dalam pelajaran tapi jangan mau dijadikan babu untuk mengerjakan tugas tugas mereka” ujar mama memberi solusi.
“bergaul-ah sebisamu davina, coba tempatkan posisimu di tengah tengah mereka yang membutuhkanmu, sehingga mereka bisa membuka matanya lebar-lebar bahwa kamu datang kepada mereka bukan untuk menjadi rival, melainkan menjadi teman yang berguna, menjadi bidadari penolong bagi mereka” lanjut papa menambahkan.
“percayalah, kejadian ini hanya terjadi sementara, saat kamu SMA nanti, kamu akan menemukan teman yang lebih bersifat dewasa ketimbang di SMP, mereka sudah bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk” kata mama.
Segala omongan renyah mereka aku saring dalam otakku lalu aku masukkan ke dalam hatiku, pembangkit semangat walau hanya melalui kata kata, ya itulah papa dan mamaku, mereka bijak, sebijak perlakuan mereka saat masa muda, saat mereka mengalami kejadian yang ku alami sekarang.
Tahun 2006..
“Ngga terasa umurku sudah 15 tahun ma, aku sudah memakai seragam SMA, dan ini hari pertamaku menginjakkan kaki di sekolah...” ujarku pada mama yang sedang menyiapkan sarapan.
“Waktu terus berjalan sayang, dan segala masalahmu di tuntaskan oleh waktu, bukan?”
“Iya ma hehe, semoga di SMA omongan mama benar ya, bahwa aku menemukan teman yang bersifat dewasa”
“Semoga itu benar terjadi nak” ujar mama tersenyum sembari mengelus kepalaku.

***
Di tarunabakti perkasa senior high school..
Aku turun dari mobil, dan menginjakkan kaki ku di lobby SMA swasta yang keren ini, sekolah ini asik... tata letaknya, lingkungannya, bukan seperti gedung sekolahan pada umumnya, tetapi lebih mengarah pada universitas, ya mirip sebuah kampus. “wah bakalan nggak canggung nih kalau udah jadi mahasiswa nanti, udah kebiasaan masuk di gedung kaya beginian sih dari SMA” ujarku terkekeh dalam hati.
Aku tidak menyadari begitu banyak sorot mata yang memandangiku sejak aku turun dari mobil milik papa. Apa ada yang salah dengan seragam imut kun ini? Ya, seragamku imut, seperti seragam di sekolahan korea hihi..
Malah justru ada lelaki yang berbisik kepada teman ngobrol di sebelahnya; “cantik men, mulus... model kali nih cewek”
“berbisik kok dengan volume yang bisa terdengar olehku?” batinku.
Tiba tiba segerumbulan anak cewek angkatanku bergiliran menjabat tanganku, mereka ingin berkenalan denganku,” inikah teman yang baik?”ujarku dalam hati.
“Tuhan, aku tak pernah sekalipun diperlakukan hangat dan istimewa oleh satu temanku pun terkecuali oleh fanya. Teman baruku; tiffany, dera, nia... dan sebentar-sebentar ada sosok yang menjamah pundakku dengan halus, dia cewek, mukanya tidak asing, namun aku mendadak lupa.
“Heiiii..” sapanya lembut.
“Hei juga, apa sebelumnya kita pernah kenal?” tanyaku padanya
Ia mengulurkan tangannya.
“Kenalin, aku fania rasya kurniadiantoro... panggilannya fanya, Hai davina argantara”
Tenggorokan ku tercekat. Mataku menjulur keluar. Aku menganga. Rasanya ini mimpi.
“Cubit gue sekali aja” ujarku yang tak sengaja menggunakan bahasa gaul anak jakarta.
Seketika fanya langsung memelukku.
“Aku kangen banget sama kamu, argaaaa”
“Eh sotoy, namaku davina, emangsih ada arga nya tapi panggilannya bukan arga, huh” ujarku memasang muka cemberut.
“Kumaha damang? Ngga nyangka banget ketemu kamu disini, aaaah” ujar fanya
“PLISSSSS fanya, sejak kapan aku bisa bahasa sunda, tinggal di bandung bukan berarti bisa bahasa sunda, aku aja lahirnya di Surabaya, huft...”
“Hahaha, iyaiya maaf.. apa kabar? Cantik banget kamu dav, ngga nyangka sekarang udah kaya artis aja, ngga salah deh kalau daritadi aku di ujung papan mading ngeliatin kamu di kerubungi anak anak cewe angkatan baru kaya kita”
“Mereka aneh banget ya, padahal kan aku biasa aja” ujarku.
“Kamu ngga berubah ya, tetap aja tukang merendah... eh iya kebetulan om ku staff Tata Usaha di sekolah ini, aku lihat daftar kelasnya, aku masuk di kelas X-A , sama anak cewek namanya davina argantara, aku mau ah sebangku sama dia”
“HAHHH? Ciyus? Yesss asik asik kita sebangkuuuu” ujarku kegirangan
“Peluk dulu dong fania nya..” ujar fanya menegakkan alisnya
AHHH fanya, langsung ku memeluknya. 2 sahabat lama yang menyatu kembali, sekelas kembali, duduk sebangku kembali, OH TUHAN, ini indah sekali.

Tahun 2008.....
17 tahun.
Papa mulai sibuk menjalankan bisnisnya, nyaris setiap 2 bulan sekali, papa selalu ada proyek di luar negeri. Di dalam negeri, ada 3 perusahaan papa yang harus di urus, demi membantu kelancaran bisnis papa, mama ikut turun tangan, mama yang dulu menjadi ibu rumah tangga biasa sekarang menjadi direktur perusahaan, sama seperti papa. Sekarang mama wanita karier.
Mama & papa sepakat memperkerjakan 2 pembantu untuk bersih bersih rumah, 1 tukang kebun, 3 supir pribadi, untuk papa , mama , dan aku [anak tunggal mereka].
Sekarang rumah kami pindah lagi, mungkin atas dasar kesuksesan papa dan mama, makanya kami pindah di kawasan perumahan elite yang lengkap dengan taman super lebar di bagian depan dan belakang rumah, dan juga di lengkapi dengan gazebo [tempat duduk seperti gubug] di pinggir area kolam renang. Aku terpaksa ikut senang. Dikelilingi harta yang berlimpah tidak membuat kebahagiaan ku datang dengan tiba-tiba, mungkin bagi sebagian banyak orang; menjadi anak seorang pengusaha kaya yang bolak balik keluar negeri dan memiliki aset perusahaan yang banyak adalah kenyamanan tersendiri, tapi tidak untukku. Aku suka hidupku yang biasa biasa saja, yang sederhana, yang di selimuti dengan kehangatan keluarga bukan kekayaan keluarga.
Aku suka hidupku yang setiap pagi menyantap sarapan buatan mama, bukan buatan bibi pembantu.
Masa laluku lebih indah... aku menginginkannya kembali, walau aku harus merasakan di cemooh lagi oleh sebagian teman SMP-ku tapi saat itu aku memiliki papa mama yang ku mau, papa mama yang mampu melindungi-ku dari serangan meteor yang bisa membunuhku. Hidupku yang dulu, kembalilah..






[Lanjut ke >> “realita yang membunuh”]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar