Tahun 2001...
“Gimana kalau liburan
sekolah davina kita main ke ancol ma? “ tawar papa saat berduduk santai sembari
meneguk segelas kopi hitamnya.
“Boleh, lagian di umur
davina yang masih 10 tahun ini dia pasti suntuk dan obat suntuk buat anak kecil
itu cuma main pa...” ujar mama sembari tersenyum tipis
“HOREEEEE kita ke
ancooool” jawabku dengan senyum kegirangan melonjak lonjak di atas karpet ruang
tamu.
“siap siap sana
sayang, .. ma bantuin davina menyiapkan segala kebutuhannya ya” ujar papa
kepadaku dilanjutkan kepada mama.
“pastilah pa” jawab
mama.
Ya, anak kecil....
belum ada beban, pikiran masih sempit, belum bisa berpikir kedepannya, belum
ada masalah yang muncul dan kerjaannya hanya bermain, bermain dan terus
bermain.
Tahun 2004...
Disaat umurku yang
telah menginjak 13 tahun, problem seketika bermunculan. Biasanya problem anak
SMP yang duduk di bangku kelas 2 paling kalau tidak soal pertemanan, persaingan
ya mungkin percintaan.
Aku di cap anak pintar
di SMP, sehingga banyak teman ku yang merasa tersaingi olehku padahal
kenyataannya aku tidak pernah menganggap atau bahkan menjadikan mereka sebuah
rival di dalam persaingan prestasi sekolah, tidak pernah, bahkan aku tidak akan
pernah melakukan hal itu.
Guru guru di sekolah
selalu memperlakukan aku berbeda dengan murid lainnya padahal di hadapan murid
lainnya, guru-guru selalu bilang begini “kalian sama pintarnya dengan davina
argantara, ibu atau bapak guru tidak akan berlaku beda dengan kalian maupun
dengan davina”. Tapi dalam realita, omongan bapak ibu guru itu hanya fiktif
belaka, layaknya seorang penulis yang berjanji memberikan dongeng terbagus
untuk anak kecil tetapi tak mampu mewujudkannya dengan sempurna.
Ya, benar sekali. Di
sekolah aku diberlakukan seperti anak emas, benar kata teman sekelasku,
“Lihat tuh davina, gue
tau, dia mungkin pintar ngga kaya gue yang bego tapi disini gue, kalian bahkan
davina sama sama belajar, kasta kita dengan davina sama tetapi kenapa guru guru
menganggap davina seperti anak emas? Atau mungkin anak berlian? Toh di sekolah
ini kita sama davina sama sama belajar dan sama sama bayar kan, ini namanya
ngga adil”
Aku selalu berusaha
menempatkan posisiku di tempat yang aman. Tapi kenapa aku selalu salah di mata
mereka ? Jadi bodoh, mungkin hal yang bisa membuat teman temanku senang, tapi
hal yang daridulu ku percayai adalah, Tuhan tidak pernah menciptakan manusia
sebagai makhluk yang terlahir bodoh. Bodoh itu karena malas, karena tak ada
usaha dalam diri.
Apa aku jadi malas
saja ? mungkin teman teman akan banyak yang mengajak ku main, karena biasanya
bangku SMP kelas 2 itu adalah masa masa dimana anak SMP mulai memberontak dan
malas-malasan terhadap pelajaran, tapi resikonya mungkin nilai ku akan jelek,
tugasku akan terbengkalai dan guru guru akan membenciku.
Apa aku harus tetap
menjadi pintar ? dimana teman teman membenciku dan tak satupun mau mendekat
padaku, tetapi justru guru guru
menyayangiku ?
Tuhan menempatkan aku
di zona ketidaknyamanan. Bukan ini jalan cerita hidup yang aku inginkan.
Aku termenung
memandangi langit-langit kamar.
Aku teringat oleh
fanya. Fanya adalah sahabat kecilku, temen sebelah rumahku saat aku belum
menempati rumah baru yang kutinggali sejak aku kelas 1 SMP. Dulu aku dan fanya
satu sekolah saat TK,SD. Tetapi SMP kami berpisah. Dulu aku tinggal di Bandung,
tetapi sekarang aku tinggal di Ibu Kota Negaraku, Jakarta.
Saat SD aku belum
memiliki handphone, begitu juga fanya. Jadi bagaimana aku bisa mengetahui nomor
handphone nya saat ini jika saat itu saja kami tak pernah sesekali membicarakan
tentang nomor handphone. Akhirnya, aku dan fanya lost contact sudah 2 tahun,
aku membutuhkannya, tidak untuk sekarang saja, mungkin juga sampai saat rambut
kami sudah berubah warna menjadi putih atau mungkin sampai saat kami melihat
cucu cucu kami berada di pelaminan. Ah, terlalu panjang pikiranku.
Aku berusaha
menceritakan kepada papa dan mama. Akhirnya mereka mengerti, dengan sangat
berhati-hati mereka mencoba merangkulku dengan lembut, menempatkan aku berada
di tengah tengah kehangatan obrolan mereka. Mereka memberikan sebuah solusi
yang tidak terlalu berat untuk ku lakukan. Mama dan papa, mereka pahlawanku.
“lakukan apa adanya
saja nak, cukup diam bila kamu tidak merasa memiliki salah, bantu mereka di
saat mereka kesusahan dalam pelajaran tapi jangan mau dijadikan babu untuk
mengerjakan tugas tugas mereka” ujar mama memberi solusi.
“bergaul-ah sebisamu
davina, coba tempatkan posisimu di tengah tengah mereka yang membutuhkanmu,
sehingga mereka bisa membuka matanya lebar-lebar bahwa kamu datang kepada
mereka bukan untuk menjadi rival, melainkan menjadi teman yang berguna, menjadi
bidadari penolong bagi mereka” lanjut papa menambahkan.
“percayalah, kejadian
ini hanya terjadi sementara, saat kamu SMA nanti, kamu akan menemukan teman
yang lebih bersifat dewasa ketimbang di SMP, mereka sudah bisa menentukan mana
yang baik dan mana yang buruk” kata mama.
Segala omongan renyah
mereka aku saring dalam otakku lalu aku masukkan ke dalam hatiku, pembangkit
semangat walau hanya melalui kata kata, ya itulah papa dan mamaku, mereka
bijak, sebijak perlakuan mereka saat masa muda, saat mereka mengalami kejadian
yang ku alami sekarang.
Tahun 2006..
“Ngga terasa umurku
sudah 15 tahun ma, aku sudah memakai seragam SMA, dan ini hari pertamaku
menginjakkan kaki di sekolah...” ujarku pada mama yang sedang menyiapkan
sarapan.
“Waktu terus berjalan
sayang, dan segala masalahmu di tuntaskan oleh waktu, bukan?”
“Iya ma hehe, semoga
di SMA omongan mama benar ya, bahwa aku menemukan teman yang bersifat dewasa”
“Semoga itu benar
terjadi nak” ujar mama tersenyum sembari mengelus kepalaku.
***
Di tarunabakti perkasa
senior high school..
Aku turun dari mobil,
dan menginjakkan kaki ku di lobby SMA swasta yang keren ini, sekolah ini
asik... tata letaknya, lingkungannya, bukan seperti gedung sekolahan pada
umumnya, tetapi lebih mengarah pada universitas, ya mirip sebuah kampus. “wah
bakalan nggak canggung nih kalau udah jadi mahasiswa nanti, udah kebiasaan
masuk di gedung kaya beginian sih dari SMA” ujarku terkekeh dalam hati.
Aku tidak menyadari
begitu banyak sorot mata yang memandangiku sejak aku turun dari mobil milik
papa. Apa ada yang salah dengan seragam imut kun ini? Ya, seragamku imut,
seperti seragam di sekolahan korea hihi..
Malah justru ada
lelaki yang berbisik kepada teman ngobrol di sebelahnya; “cantik men, mulus...
model kali nih cewek”
“berbisik kok dengan
volume yang bisa terdengar olehku?” batinku.
Tiba tiba segerumbulan
anak cewek angkatanku bergiliran menjabat tanganku, mereka ingin berkenalan
denganku,” inikah teman yang baik?”ujarku dalam hati.
“Tuhan, aku tak pernah
sekalipun diperlakukan hangat dan istimewa oleh satu temanku pun terkecuali
oleh fanya. Teman baruku; tiffany, dera, nia... dan sebentar-sebentar ada sosok
yang menjamah pundakku dengan halus, dia cewek, mukanya tidak asing, namun aku
mendadak lupa.
“Heiiii..” sapanya
lembut.
“Hei juga, apa
sebelumnya kita pernah kenal?” tanyaku padanya
Ia mengulurkan
tangannya.
“Kenalin, aku fania
rasya kurniadiantoro... panggilannya fanya, Hai davina argantara”
Tenggorokan ku
tercekat. Mataku menjulur keluar. Aku menganga. Rasanya ini mimpi.
“Cubit gue sekali aja”
ujarku yang tak sengaja menggunakan bahasa gaul anak jakarta.
Seketika fanya
langsung memelukku.
“Aku kangen banget
sama kamu, argaaaa”
“Eh sotoy, namaku
davina, emangsih ada arga nya tapi panggilannya bukan arga, huh” ujarku
memasang muka cemberut.
“Kumaha damang? Ngga
nyangka banget ketemu kamu disini, aaaah” ujar fanya
“PLISSSSS fanya, sejak
kapan aku bisa bahasa sunda, tinggal di bandung bukan berarti bisa bahasa
sunda, aku aja lahirnya di Surabaya, huft...”
“Hahaha, iyaiya maaf..
apa kabar? Cantik banget kamu dav, ngga nyangka sekarang udah kaya artis aja,
ngga salah deh kalau daritadi aku di ujung papan mading ngeliatin kamu di
kerubungi anak anak cewe angkatan baru kaya kita”
“Mereka aneh banget
ya, padahal kan aku biasa aja” ujarku.
“Kamu ngga berubah ya,
tetap aja tukang merendah... eh iya kebetulan om ku staff Tata Usaha di sekolah
ini, aku lihat daftar kelasnya, aku masuk di kelas X-A , sama anak cewek
namanya davina argantara, aku mau ah sebangku sama dia”
“HAHHH? Ciyus? Yesss
asik asik kita sebangkuuuu” ujarku kegirangan
“Peluk dulu dong fania
nya..” ujar fanya menegakkan alisnya
AHHH fanya, langsung
ku memeluknya. 2 sahabat lama yang menyatu kembali, sekelas kembali, duduk
sebangku kembali, OH TUHAN, ini indah sekali.
Tahun 2008.....
17 tahun.
Papa mulai sibuk
menjalankan bisnisnya, nyaris setiap 2 bulan sekali, papa selalu ada proyek di
luar negeri. Di dalam negeri, ada 3 perusahaan papa yang harus di urus, demi
membantu kelancaran bisnis papa, mama ikut turun tangan, mama yang dulu menjadi
ibu rumah tangga biasa sekarang menjadi direktur perusahaan, sama seperti papa.
Sekarang mama wanita karier.
Mama & papa
sepakat memperkerjakan 2 pembantu untuk bersih bersih rumah, 1 tukang kebun, 3
supir pribadi, untuk papa , mama , dan aku [anak tunggal mereka].
Sekarang rumah kami
pindah lagi, mungkin atas dasar kesuksesan papa dan mama, makanya kami pindah
di kawasan perumahan elite yang lengkap dengan taman super lebar di bagian
depan dan belakang rumah, dan juga di lengkapi dengan gazebo [tempat duduk
seperti gubug] di pinggir area kolam renang. Aku terpaksa ikut senang.
Dikelilingi harta yang berlimpah tidak membuat kebahagiaan ku datang dengan
tiba-tiba, mungkin bagi sebagian banyak orang; menjadi anak seorang pengusaha
kaya yang bolak balik keluar negeri dan memiliki aset perusahaan yang banyak
adalah kenyamanan tersendiri, tapi tidak untukku. Aku suka hidupku yang biasa
biasa saja, yang sederhana, yang di selimuti dengan kehangatan keluarga bukan
kekayaan keluarga.
Aku suka hidupku yang
setiap pagi menyantap sarapan buatan mama, bukan buatan bibi pembantu.
Masa laluku lebih
indah... aku menginginkannya kembali, walau aku harus merasakan di cemooh lagi
oleh sebagian teman SMP-ku tapi saat itu aku memiliki papa mama yang ku mau,
papa mama yang mampu melindungi-ku dari serangan meteor yang bisa membunuhku.
Hidupku yang dulu, kembalilah..
[Lanjut ke >> “realita
yang membunuh”]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar