BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 03 Januari 2013

Realita yang membunuh


Kelas 3 akhir SMA...

“Dav, kok kalau gue lihat lo perfect banget sih, udah cantik, kayak artis, anak orang kaya, koleksi gadget lengkap, pintar nya jenius lagi.. gue pengen jadi lo dav” ujar tiffany
“Tif, aku menyayangkan dari kamu; kamu kok kurang mencintai dirimu sendiri ? syukuri apa yang ada lah tif, perkiraan kamu salah, aku ngga menikmati segala kekayaan dari orang tuaku, memang segala kebutuhanku selalu tercukupi, tapi yang aku butuhin malah hilang” ujarku
“Tapi kepintaran lo ngga hilang kan? Nilai unas lo aja tertinggi satu sekolah, gadget lo buanyaaaaak, ada iPad, iPod, handphone lo apple iPhone keluaran terbaru, bb pun lo punya, Mac, Slr, yaaaaaaampun tuan putri banget deh lo pokoknya” ucap dera
“semua gadget itu aku ngga minta kok, papa selalu bawain itu kalau abis pulang dari luar negeri, jadi numpuk deh di rumah, aku juga ngga sering makai itu gadget kok, kebanyakan main gadget bikin kegunaan otak jadi turun, alhasil otak jadi down dan bisa bikin bodoh, memangsih main gadget bisa disangka anak eksis banget, tapi aku ngga suka gitu, punya handphone satu yang warna layarnya kuning sama ngga ada kamera aja aku udah lebih dari cukup kok, kan kegunaannya buat telepon dan sms doang” ujarku mulai gerah
“udah ya, kalian jangan muji barang barang yang bukan milikku, kalian boleh muji kalau aku udah sukses nanti” melanjutkan perkataanku yang tercekat tadi.

Fanya langsung menarik tanganku untuk menghindari percakapan dengan mereka lebih lanjut.

“kelihatan sekali mereka matre, mereka juga main kerumah mu cuma buat minta bantu kerjain pr dan minjem gadget buat ngeksis di dunia maya kan dav?” tanya fanya berbisik
“udah lah fan, lagian aku ngga keberatan tapi seenggaknya aku tau kalau mama bohong” jawabku
“mama mu bohong? Bohong gimana maksutmu?” tanya fanya penasaran
“ya mama bilang waktu aku SMP, bilang bahwa teman SMA lebih bisa memilih mana yang baik dan buruk, lebih bisa nerima temannya apa adanya dan kalau aku lihat sih yang di bilang mama ngga ada di dalam diri tiffany, dera maupun nia atau teman lainnya, yang di bilang mama cuman ada di dalam diri fania rasya kurniadiantoro”
“AHH makasih banyak kalau kamu beranggapan seperti itu, aku tulus berteman sama kamu soalnya kamu juga tulus sama aku dav hehe” ujar fanya tersipu malu
“TAPI KENAPA MAMA HARUS BILANG KAYAK GITU, cari temen bener bener susah fan,nyatanya coba lihat tiffany,dera dan nia.. mereka masih sangat palsu, mereka itu fake friend! Oh my God!  apa mungkin kata kata mama cuman buat nenangin aku yang pada waktu itu lagi gelisah? Untungnya kehadiran kamu lebih bisa mengontrol emosiku, ah sudahlah aku tidak mau memikirkan wanita dan pria yang lebih berpihak pada kariernya dan tidak memperdulikan anaknya” ujarku dengan perasaan kacau.



Tahun 2009.
“kita kuliah bareng ya fan, kan universitas yang kamu pengen ngga jauh dari rumahku jadi kamu menginap di rumahku ya, papa mamamu pasti ngga masalah kan udah kenal sama keluargaku hihi” tawarku pada fanya.
“Iyadeh, lagian aku kasian sama kamu, tinggal di rumah sebesar ini hanya dengan 4 orang itupun 2pembantu, 1 tukang kebun sama 1 supir, pasti kamu ngga ada temen ngobrol” ujar fanya mengasihani
“kamu pengertian banget fan, ngga jauh beda dengan saat SD dulu” ujarku langsung memeluk fanya

***
Papa dan mama sudah tidak peduli, mereka tidak membantu menguruskan seperti saat aku masuk SMA, saat indah itu, mama yang menyetrika seragam imut SMA ku dengan tangannya sendiri, memasakkan sarapanku dengan tangannya sendiri, papa yang mengantarkan aku dengan mengemudikan mobil menggunakan tangan, kaki dan matanya sendiri.. sekarang? Aku hanya di bantu oleh seorang bibi pembantu dan seorang supir pribadi, kemana papa mamaku yang dulu? Yang selalu menyempatkan waktunya untuk membuatku menyunggingkan senyumku untuk mereka, KEMANNNNNAAAA SEMUA YANG INDAH?
Aku daftar di perguruan tinggi yang udah papa & mama targetkan untukku. Okay aku turutin. Papa & mama menyuruhku mengambil jurusan ekonomi agar aku bisa mengikuti jejak mereka sebagai pengusaha, sayangnya jiwaku bukan disitu. Jiwaku terletak di sastra dan desain.
“Fan, enaknya aku masuk desain grafis atau sastra indonesia ya?” tanyaku
“Kamu enaknya dan nyamannya dimana ? aku sih terserah kamu, yang ngejalanin kan kamu masa harus ngikuti pendapat orang  lain, tapi bukannya papa mamamu nyuruh ngambil ekonomi ya?” tanya fanya berbisik
“Ngga usah pake bisik bisik, ngga bakalan ada yang denger ini rumah kan sepi, aku sih pengen ya desain grafis karena sastra aku udah cukup mahir di SMP dan SMA buktinya udah cetak buku hehe, tunggu deh kamu sendiri kan yang bilang, aku yang ngejalanin mana mungkin aku ngikutin omongan orang lain sekalipun itu orang tuaku sendiri.” Jawabku dengan jelas
“Iyeiye, kamu semuanya mahir dav, kamu kan jenius nya udah di ambang kelebihan batas WAHAHA, aku sih lebih suka kamu jadi penulis tapi ngga ada salahnya kamu jadi editor yang bergerak di bidang desain cover buku mungkin, sebenarnya desain itu gabungannya sama foto sama sastra, pasti berkelut sama itu itu doang jadi yang kamu pengen ngga bakalan melenceng jauh kaya dari sastra ke ekonomi.. yaudah ikutin kata hatimu aja, okey aku selalu dukung kok” ujar fanya.
Fanya mengambil jurusan informatika. Aku bisa saja sih menyamai fanya mengambil jurusan itu tapi rasanya kurang srek.
segala biaya udah di transfer papa ke rekeningku, aku pergunakan uang itu dengan baik, dengan mendaftar jurusan desain grafis.
***

Papa telepon..
“Davina, gimana.. kamu jadi ekonomi kan?”
“Engga pa, davina ngga suka.. davina ambil desain grafis” jawabku halus.
“Kamu ini bagaimanasih, jangan seenaknya sendiri, kami sudah menargetkan ekonomi untuk kamu, kamu ini harus jadi sarjana ekonomi bukan desain grafis, kamu mau jadi apa ? gelandangan? Tukang edit? APAAA? Ujung ujungnya juga bakalan lontang lantung kamu” nada bicara papa meninggi. Kedengarannya kasar. Fanya di sebelahku melongo kebingungan yang sedari tadi mendengar percakapanku via telepon yang di speaker.
Fanya mengelus-elus dadanya sebagai isyarat aku harus sabar dan tidak terpancing emosi papa.
“Pa, aku yang ngejalanin, kalau aku ngga suka kalau aku ngga nyaman hasilnya juga bakalan nihil pa, papa tau kan, kerjaaan dan segala aktifitas akan berujung indah kalau dijalani dengan hati, davina tau.. papa suka sekali menjadi pengusaha makanya papa sukses sekarang, karena papa menjalani-nya dengan hati, tapi davina bukan papa, yang suka mengejar kesuksesan sehingga menimbun kekayaan yang memicu hadirnya ketamak-an dalam diri, maaf pa” ujarku dengan lembut. Aku tau bagaimana cara berbicara yang baik dengan orang tua. Tapi papa ngga tau bagaimana cara yang baik berbicara dengan anaknya tanpa dengan nada kasar sedikitpun.
“KAMU SEKARANG SUDAH BISA MENGAJARI PAPA ? SASTRA YANG MEMBUAT KAMU PINTAR BERBICARA SEPERTI SEKARANG? Ikut acara debat saja kamu, asalkan jangan berdebat dengan papa. Papa akui davina, kamu memang anak yang jenius, mampu berkelut pada segala mata pelajaran apapun tapi ekonomi itu akan membawa hasil yang baik untuk kamu nantinya” nada kasar papa melunak.
“Tapi bagaimana jika davina tidak bisa mencintai ekonomi? Sama saja davina menghancurkan masa depan davina, membuang buang waktu davina untuk mempelajari ekonomi selama 4 tahun tapi tak berguna juga nantinya” ujarku
“YASUDAH, TERSERAH KAMU, SUSAH BICARA DENGAN ANAK YANG BARU MENCOBA MENG-INJAKKAN KAKINYA DI DUNIA ORANG DEWASA, papa telepon kamu bukan untuk berdebat davina, kalau itu mau kamu, papa ngga mau tahu, terserah” nada kasar itu terulang lagi sehingga nada terputusnya telepon terdengar nyaring di tengah tengah keheningan.. tut tut tut tut....
Tetes demi tetes berjatuhan, air mata. Air mata yang tertahan  mencoba berlomba lomba menjatuhi pipi. Ini air mata kepedihan, “SEJAK KAPAAAAAAN PAPA BERUBAH MENJADI MONSTER YANG KASAR? YANG MENYAKITI MANUSIA DENGAN MEMBANTINGKANNYA KE ASPAL?” jerrrrrit gue di kasur. Di hadapan fanya, sahabatku. Fanya terdiam melihatku terpukul. 2 pembantuku kaget lalu menelepon mama yang sedang beda tempat kerja dengan papa.
“ku rasa, semuanya berubah semenjak papamu mengenal kesuksesan, aku mengenal om bram, sekalipun Ia tak pernah berlaku kasar kepada anaknya...aku sangat mengenal om bram, dia papa yang penyayang, sangat menyayangi davina argantara, anak tunggalnya” ujar fanya..
Aku termenung mendengar perkataan davina. Lamunanku terpecah saat handphone ku berdering, saat mama meneleponku.
Hatiku sudah di selimutin dengan perasaan amarah, emosi yang meluap-luap. Tanpa sadar aku mengangkat telepon mama dengan nada yang meninggi.
“APA MA? MAMA JUGA MAU MEMAKSA DAVINA UNTUK MENGAMBIL EKONOMI SEBAGAI PENUNTUN MASA DEPAN DAVINA? MAMA MAU MEMARAHI DAVINA DENGAN KASAR SEPERTI PAPA BARUSAN? MAMA SAMA PAPA SAMA SAJA, tak ada pengertian” ujarku kesal
“Davina dengar mama, papa hanya terpancing emosi sayang, kata bibi kamu menangis menjerit jerit makanya mama khawatir dan langsung nelpon kamu” ujar mama dengan lembut
“Mama khawatir ? jangan hanya bicara ma, buktikan! Mama pulang sekarang kalau mama khawatir, tenangin davina disini maaa” ujarku mendesah pedih
“Sayaaang mama banyak kerjaan, maaf mama belum bisa pulang”
Seketika jari jariku refleks memencet tombol mematikan telepon. Sudah muak dengan kata ‘sibuk’. OOH SEKARANG ANAK MAMA DAN PAPA NAMANYA BISNIS, BUKAN DAVINA LAGI, jelas aja bisnis terus yang di urusin.
Seketika fanya memelukku saat aku sudah mulai kehilangan arah. Saat aku mulai larut dalam kekacauan yang orang tuaku buat.
Ini dia sahabat sejati, yang asli, murni , tulus, tanpa dasar apapun. Mengerti, tidak matre, tidak pernah mengolok-olok ku meskipun berupa lelucon kecil.

“ku rasa hidupku belum berakhir, masih ada berbagai permasalahan yang menungguku di hari esok” ujarku.




“[lanjutan di >> “Serpihan kisah masa lalu"]

-Rebecca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar